Copyrights @ Journal 2014 - Designed By Templateism - SEO Plugin by MyBloggerLab

Rabu, 11 Mei 2016

Adat Istiadat dan Kebudayaan suku Banjar dalam Upacara Kematian

Share
Postingan pertama aku kali ini tentang adat istiadat dan kebudayaan suku Banjar khususnya dalam upacara kematian. Ini merupakan salah satu tugas aku kuliah dulu waktu mata kuliah adat istiadat, dan sekarang aku pengen bagi ke kalian. Siapa tau bermanfaat. aminnnn ^^
okeee dari pada berlama-lama langsung aja yuuu kita ke topik pembahasan :)



Seperti yang telah kita ketahui bahwasanya kebiasaan orang-orang Banjar di Kalimantan Selatan ini banyak sekali dan menjadi suatu tradisi yang erat sekali dengan pengaruh agama terutama agama Islam.
Salah satunya saja dalam upacara kematian. Dalam upacara kematian masyarakat Banjar unsur-unsur yang terdapat dalam kaidah Islam tetap dilakukan seperti halnya memandikan, mensholatkan, mengkafani dan menguburkan. Namun hanya saja dalam pelaksanaannya masih didukung oleh kebudayaan yang sangat kuat, ya seperti upacara sebelum penguburan dan maupun sesudah dilakukannya penguburan. Hal ini sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Banjar.
Maka jika ada kematian, seluruh warga kampung datang membantu keluarga yang sedang berkabung. Biasanya salah seorang perempuan dari setiap keluarga datang ke rumah keluarga yang sedang berduka cita sambil membawa sejumlah beras dan membantu untuk acara selamatan. Sementara itu, para lelakinya, membantu dalam persiapan penguburan.
Seperti pengalaman saya sendiri dalam upacara kematian di keluarga saya. Kebetulan keluarga saya mama dan bapa lahir dan besar di Barabai, meskipun saya lahir dan besar di Marabahan (bakumpai). Tapi kebiasaan daerah Barabai masih kental di keluarga kami. Pertama-tama jenazah dibaringkan di ruang utama menghadap kiblat dan ditutupi dengan beberapa helai sarung bahalai (sarung panjang) untuk menutupi seluruh tubuh jenazah. Di sekitar jenazah sudah disediakan banyak buku yassin atau Al-Quran agar pelayat yang ingin mengirimkan doa bisa langsung mengambil dan membacanya. Tak lupa pelayat perempuan duduk-duduk di depan jenazah sambil mengikat-ikat daun pandan yang sudah disediakan sehingga menjadi beberapa ikat dalam satu daun sambil diiringi dengan bacaan sholawat dan doa-doa. Daun pandan itu ditujukan untuk ditaburkan di atas kuburan pada saat pemakaman. Selain daun pandan juga ada bunga-bungaan terutama bunga kenanga yang direndam dalam air untuk disiramkan di atas kuburan.
Saat proses pemandian jenazah, orang yang ditunjuk untuk memandikannya ialah orang-orang yang alim dan mengetahui tentang tata cara memandikan mayat. Biasanya dilakukan 3, 5 atau 7 orang termasuk salah satunya ialah keluarga dari jenazah tersebut atau ahli warisnya yang bertugas untuk membersihkan dubur atau kemaluan mayit.
Setelah selesai proses pemandian, jenazah kemudian diletakkan di tempat yang sudah di sediakan untuk kemudian di kafani. Sebelum muka jenazah dikafani pihak keluarga boleh untuk terakhir kalinya melihat atau menciumnya dengan catatan jangan sampai air mata kita mengenai si jenazah. Karena menurut kepercayaan di keluarga kami apabila air mata kita mengenai jenazah atau kita terlalu menangisi kepergiannya maka si jenazah akan merasa kesakitan atau pada saat dialam barzah jenazah mengalami kehujanan.
Setelah prosesi pemandian selesai maka sebelum diusung ke pemakaman biasanya kami disuruh untuk menyusup di bawah tandu agar yang melewati tandu tersebut selalu sehat dan panjang umur. Selain itu karena saya berasal dari daerah pahuluan tepatnya di Barabai, kebiasaan kami saat tepat orang-orang ingin turun dari tanah untuk menuju ke pemakaman biasanya kaum perempuan dikeluarga kami yang lebih tua akan memasak kue surabi.

 Menurut orang-orang bahari (orang zaman dulu) kue surabi itu akan menjadi perisai atau tameng untuk menangkis apabila malaikat munkar nankir datang di alam kubur. Mungkin dikarenakan bentuk dari kue surabi yang bulat tipis dan agak sedikit tebal dibagian tengah sehingga persis seperti perisai kali ya heee.... Kebiasaan kami yang lainnya ialah membagikan pakaian-pakaian bekas dan piring atau gelas yang sering jenazah pakai semasa hidupnya kepada orang-orang yang tidak mampu dan kepada orang-orang yang ikut dalam memandikan mayit.
Terakhir dalam upacara kematian ialah acara besalamatan. Yaitu acara dimana warga kampung atau tetangga dekat berkumpul ke rumah keluarga yang meninggal. Kemudian membaca tahlilan (dzikir) dan doa-doa untuk diniatkan/disedekahkan kepada yang meninggal agar diampuni oleh Allah swt segala dosa-dosanya. Biasanya dilakukan pada hari pertama sampai ketiga (maniga hari), ketujuh (manujuh hari), ke-25 (menyalawi), ke-40 (maampat puluh hari), 100 (manyaratus hari) dan terakhir behaulan yang dilakukan setahun sekali tepat saat meninggalnya seseorang.
Saat besalamatan dihari pertama sampai ketiga biasanya keluarga kami akan mengundang santri-santri dari pondok untuk diminta membacakan Al-quran sampai khatam untuk disedekahkan pada keluarga yang meninggal. Kemudian dalam acara manyaratus hari, bagi orang-orang Banjar dianggap sebagai yang terpenting. Oleh karena itu dalam acara tersebut setiap keluarga akan berusaha untuk menyelenggarakannya secara lebih besar ketimbang hari-hari biasanya.
Dari upacara kematian ini dapat kita ambil sebuah nilai sosial yang bisa kita jadikan sebagai acuan atau pedoman hidup. Yaitu nilai-nilai kegontong royongan, kemanusian dan religiusnya.
Nilai-nilai tersebut tercermin dari sikap warga sekitar kepada keluarga yang berkabung. Tanpa diminta semua warga masyarakat bergontong royong dan salin membantu dalam prosesi upacara kematian.
Namun saya sedikit merasa heran dari segi kebiasaan kami sendiri apabila orang-orang mulai turun tanah untuk membawa jenazah ke pemakaman, kaum wanita dari keluarga yang berkabung asik untuk membuat kue surabi. Memang niatannya baik dengan tujuan semoga kue surabi itu bisa menjadi tameng/perisai bagi yang meninggal ketika datang malaikat munkar nangkir. Sekaligus untuk di sedekahkan pahalanya kepada yang meninggal bagi yang memakan kue tersebut. Tapi tidakkah lebih baik kita sebagai keluarga yang ditinggalkan untuk tidak melakukan hal-hal semacam itu. Kita sebagai keluarga yang ditinggalkan bisa memberikan doa atau bacaan-bacaan Al-Quran agar keluarga yang meninggal dimudahkan kelak di alam kubur. Menurut saya itu lebih masuk akal ketimbang kita membuat kue surabi itu, karena kita tahu bahwa bacaan ayat-ayat suci itu sangat bagus. Tapi selama kebudayaan tersebut tidak menyimpang dari akidah agama Islam, saya rasa tak apa toh mungkin itu cara orang-orang tua bahari (zaman dulu) untuk membantu keluarganya yang meninggal agar dimudahkan di alam kubur selain dibacakan ayat-ayat suci maupun doa-doa. Yang kemudian diturunkan ke anak cucu hinga sekarang  menjadi sebuah tradisi atau kebiasaan yang sudah melekat bagi suku banjar. ^^

0 komentar:

Posting Komentar